Sabtu, 26 Februari 2011

Banjir dan Rehabilitasi Hutan


Seperti beberapa tahun sebelumnya, bencana banjir kembali meluluhlantakkan sejumlah daerah di Indonesia. Puluhan orang meninggal percuma dan ratusan rumah tenggelam di tujuh kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Yang paling parah terjadi di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Aceh Tamiang. Di samping itu, daerah-daerah lain, dalam skala yang relatif kecil, juga telah banyak terkena atau siap-siap menyambut datang bencana serupa.
Semua mata tertuju kepada pemerintah. Apa lagi kalau bukan kerusakan hutan yang dijadikan alasan utama. Kerusakan hutan sebagai kambing hitam seluruh bencana itu memang sangat tepat. Soalnya, akumulasi penjarahan hutan yang telah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu telah berdampak pada tingkat kerusakan hutan yang teramat parah.
Data Departemen Kehutanan menyebutkan 60,9 juta hektare hutan yang terletak di daerah aliran sungai di seluruh Indonesia rusak parah. Laju kerusakan setiap tahun mencapai 2,83 juta hektare. Kondisi ini lebih parah dibanding pada 1998, ketika kerusakan hutan dan lahan baru seluas 43 juta hektare dengan laju kerusakan 1,6 juta hektare per tahun. Sebuah fakta yang bisa menjadi pembenaran mengapa bencana banjir dan longsor itu datang.
Namun, terus-menerus menyalahkan kerusakan hutan sebagai biang keladi bencana banjir juga bukan langkah yang bijaksana. Bukankah setiap tahun saat bencana alam itu datang, kita selalu melakukan itu? Dan hasilnya, bencana tersebut kembali dan kembali datang secara rutin setiap tahun.
Padahal, dengan sedikit kerendahan hati dalam memandang bencana, kehadiran banjir dan tanah longsor juga merupakan buah tidak berhasilnya pemerintah dalam melaksanakan program rehabilitasi hutan. Apalagi pemerintah sebenarnya punya dana yang sangat besar untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan. Dana reboisasi–dana yang dipungut pemerintah untuk mendanai program rehabilitasi hutan–jumlahnya pada 2006 ini mencapai Rp 12 triliun. Kendati dari jumlah ini, menurut Menteri Kehutanan Malam Sabat Kaban, yang diketahui keberadaannya hanya Rp 5,8 triliun. Adapun sekitar Rp 6,2 triliun mengendap di berbagai tempat
Dalam upaya rehabilitasi hutan, pemerintah memang sudah berbuat. Melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dicanangkan sejak empat tahun silam, Departemen Kehutanan mentargetkan, selama masa lima tahun 2004-2009, sedikitnya 5 juta hektare hutan bisa direhabilitasi. Namun, ternyata program ini tidak cukup sukses guna merehabilitasi hutan yang rusak. Realisasi target yang dicanangkan pemerintah tidak optimal sehingga dengan tingkat kerusakan hutan yang sedemikian parah, program tersebut tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Apa penyebabnya? Menurut penulis, secara konsep gerakan tersebut merupakan sebuah langkah tepat terobosan pemerintah dalam mengembalikan kembali hutan yang rusak. Hanya, kegiatan ini tidak bisa dilaksanakan secara optimal karena sejumlah faktor teknis yang dominan.
Pertama, mekanisme pencairan dana anggaran pendapatan dan belanja negara, sumber dana utama gerakan tersebut, yang tidak tepat membuat Departemen Kehutanan (selaku departemen teknis) kaku dalam menjalankan proyek ini. Dari rapat kerja Komisi Kehutanan DPR dengan Departemen Kehutanan diperoleh informasi, kadang-kadang pencairan anggaran gerakan tersebut terjadi pada saat musim tanam telah lewat. Artinya, kegiatan penanaman menjadi tidak maksimal atau malah sering kali gagal.
Menurut pandangan penulis, tidak optimalnya program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan karena masalah pencairan dana harus mendapat perhatian serius dari pemerintah, khususnya Departemen Keuangan, selaku bendahara negara. Harus diciptakan langkah-langkah terobosan khusus untuk mengatasi hal ini, misalnya, menyediakan dana untuk gerakan tersebut dalam beberapa tahun anggaran berjalan (multiyears).
Upaya lain adalah mempercepat terbentuknya lembaga khusus yang menampung dana reboisasi yang jumlahnya mencapai Rp 12 triliun. Badan Layanan Umum, lembaga yang disiapkan Departemen Kehutanan, harus segera direalisasi sehingga tujuan utama dana reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dapat terlaksana.
Kedua, mengkaji kembali soal keterlibatan investor swasta dalam berbagai rangkaian proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, seperti dari proses pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan. Sudah terbukti, dengan melibatkan swasta seperti selama ini, program tersebut tidak optimal. Karena bagaimanapun, proyek ini bukan proyek bisnis yang menguntungkan, sehingga perusahaan swasta yang berkualitas umumnya enggan ikut serta. Dampaknya, perusahaan swasta yang ikut adalah perusahaan-perusahaan baru, seperti yang bertujuan mengejar keuntungan semata.
Sebagai catatan, pada tahun pertama proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilaksanakan baru ada 40 perusahaan pembibitan. Tahun kedua, jumlah itu meningkat menjadi 80 perusahaan. Memasuki tahun keempat, jumlah perusahaan melonjak tajam menjadi 1.800 perusahaan. Artinya, banyak perusahaan yang sengaja dibentuk tanpa kemampuan yang jelas dan hanya berorientasi menikmati keuntungan dari proyek itu. Jadi masuk akal kalau dalam perjalanannya selama empat tahun banyak dugaan penyimpangan dalam proyek ini.
Mengatasi hal tersebut, pemerintah seharusnya lebih mengoptimalkan peran perusahaan negara bidang kehutanan, yang keberadaannya hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain sudah berpengalaman, sebagai perusahaan negara, pemerintah tentunya bisa lebih mudah melakukan pengawasan dari sisi keuangan dan program kerja.
Ketiga, mengembalikan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan ke tujuan semula, yaitu berupaya mengajak masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dalam kegiatan rehabilitasi hutan untuk berpartisipasi aktif. Dana reboisasi hanya sebagai stimulator awal. Yang terjadi sekarang, program tersebut hanya menjadi gerakan ekonomi sesaat. Solusinya, tujuan semula bisa tercapai bila dibentuk kelembagaan yang mengakar ke masyarakat.
Pembenahan program kegiatan rehabilitasi hutan memang tidak akan memberikan dampak langsung dalam satu-dua tahun mendatang. Namun, pembenahan ini menjadi keharusan utama yang harus dilakukan pemerintah dalam upaya mengantisipasi terjadinya bencana yang lebih besar dalam kurun lima-sepuluh tahun mendatang. Dan ini sepertinya sudah tidak bisa ditawar lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar