Selasa, 15 Februari 2011

Adaptasi Petani di Jambi pada Perubahan Iklim

Cuaca ekstrem kini terjadi di mana-mana. Petani padi menjadi salah satu korban akibat perubahan cuaca tersebut. Mereka mengeluh akan tidak seimbangnya hasil panen dengan biaya, waktu, serta tenaga yang dikeluarkan.

Sebagai contoh, petani di Desa Simpang Karmeo, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi. Di sana, diakui Saimin, warga setempat, terjadi perubahan tingkat pendapatan dalam dua tahun terakhir.

Pada saat kondisi cuaca teratur, masa musim hujan dan kemarau dapat diprediksi. Hama juga bisa diatasi. Irigasi mampu berfungsi dengan baik. Untuk menanam padi di atas lahan 1 hektar, Saimin membutuhkan biaya Rp 3 juta.

Pada sawah yang dikerjakan sendiri hampir setiap hari, Saimin akan memperoleh hasil dalam waktu tiga bulan lebih berupa gabah kering seberat 2 ton. Jika diuangkan, total pendapatan berkisar Rp 5 juta-Rp 7 juta. ”Jadi, saya masih untung. Apalagi, kalau lahan ditanami dua sampai tiga kali dalam satu tahun, hasilnya akan mampu menutupi kebutuhan pangan keluarga. Bahkan, biasanya berlebih,” tuturnya.

Akan tetapi, kondisi cuaca menjadi tak jelas selama ini membuat prediksi petani sering salah. Hama keong dan tikus semakin tidak teratasi. Itu diperparah lagi dengan kondisi irigasi yang tidak berfungsi.

Dengan modal Rp 3 juta, Saimin kini hanya bisa meraih hasil sekitar 800 kilogram gabah kering. Pasalnya, padi tidak berbuah secara maksimal. Ketika bulir-bulir padi keluar, tiba-tiba terjadi banjir. Hasil panen pun makin menurun. ”Jika dinilai dengan uang, paling-paling kami mendapat Rp 2 juta saja. Itu artinya tekor,” ujar Saimin.

Saat ini mulai banyak petani frustrasi. Sebagian mengganti sawahnya menjadi tanaman sawit sebab lebih dapat bertahan hidup saat banjir. ”Sawit juga tak membutuhkan perawatan setiap hari, tetapi hasilnya sangat menjanjikan,” tuturnya.

Yayasan Setara Jambi, yang melakukan advokasi pada petani, mencatat, musibah banjir yang berlangsung selama Januari hingga Maret lalu, bertepatan menjelang musim panen, telah mengakibatkan 879 hektar tanaman padi terendam banjir. Sebanyak 116 hektar di antaranya mengalami puso.

Alih fungsi

Tanaman jagung dan kacang tanah juga gagal panen akibat banjir. Musibah ini terjadi merata pada pusat-pusat pertanian, mulai dari Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, Sarolangun, dan Merangin. Kondisi bencana ini terbalik dengan tahun 2003 ketika kerusakan pada 2.876 hektar sawah terjadi akibat bencana kekeringan.

Pengalaman musibah banjir yang tak terduga membuat petani memilih menunda masa tanam. Jika mengikuti jadwal sebelumnya, mereka harus mulai menanam pada bulan Mei. Namun, untuk menghindari banjir, petani akhirnya baru menanam bulan Juli, dengan prediksi panen dilakukan pada September hingga Oktober mendatang. Meski demikian, cuaca tetap tidak dapat diprediksi secara pasti

Kini, alih fungsi sawah ke kebun sawit di Jambi makin masif, mencapai 75.000 hektar dari total luas sawah 191.774 hektar. Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai sentra utama padi ternyata menjadi daerah terluas alih fungsi sawah, yaitu 15.000 hektar. Di Kabupaten Muaro Jambi seluas 200 hektar dan Batanghari 125 hektar. Bahkan, di Batanghari, 200 hektar sawah dijual petani kepada perusahaan perkebunan sawit.

Nurbaya Zulhakim dari Divisi Pendidikan Publik Yayasan Setara, menilai, alih fungsi lahan sawah menjadi kebun sawit merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim yang sangat keliru. Alih fungsi membuat lahan sawah berkurang. Sangat mungkin suatu saat daerah ini akan bergantung pada pasokan beras dari luar.

Alih fungsi sawah jadi kebun sawit juga menambah pelepasan emisi, yaitu saat pembukaan lahan, penggunaan pupuk dan pestisida, dan saat memproduksinya jadi minyak mentah atau CPO. ”Akan terjadi pelepasan emisi yang besar,” tuturnya.

Penyerapan karbon oleh sebatang tanaman sawit tidak seimbang dengan karbon yang dikeluarkan mulai dari pembukaan lahan sampai menjadi CPO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar