Sabtu, 26 Februari 2011

244 Desa di Darah Aliran Sungai Batang Hari Rawan Banjir


Jambi : Musim hujan telah tiba,  bagi masyarakat yang berada di DAS Batang Hari itu berarti harus bersiap menghadapi banjir dan tanah longsor. Dari data yang terdapat di Dapertemen Kimpraswil, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari terdapat 244 desa termasuk daerah rawan dan berpotensi banjir. Meliputi kawasan pertanian dan pemukiman yang diperkirakan seluas 180.305 hektar.  Dari luasan ini, 78 persen merupakan daerah pemukiman.  

Sedangkan daerah rawan longsor lebih banyak terdapat di daerah hulu DAS Batang Hari. Daerah yang rawan longsor diantaranya Lintasan Danau Diatas - Lubuk Gadang, seperti daerah Air Dingin, Gunung Rasam, Patal, sebelah selatan Bukit Buayan. Gunung Kerinci dan sekitarnya, Selatan bukit Simpang, Bukit Lintang dan selatan Bukit Basunglolo, juga merupakan daerah rawan longsor. Daerah rawan lainnya adalah Daerah Danau Kerinci, yaitu daerah  Pungut Mudik, sebelah Timur Bukit Pandan, Pulau Sangkar. Di perbatasan Kerinci dengan Merangin juga terdapat daerah yang rawan longsor  yaiti Lintasan Danau Daerah Pondan Lapanggan, Lubuk Telung, sebelah timur Bukit Sungai Kuyut. Sedangkan di Kabupaten Merangin daerah rawan longsor terdapat di daerah Bukit Maras, Bukit Pungung, Bukit Telanti dan Sikuncing.  

Diperkirakan musim hujan yang akan jatuh pada akhir tahun ini dan awal tahun depan, juga berpotensi menimbulkan banjir dan tanah longsor di DAS Batang Hari. Dari trend yang ditunjukkan tahun ke tahun, frekuensi kejadian banjir mengalami kecenderungan meningkat. “Hal ini disebabkan karena semakin kritisnya DAS Batang Hari,”sebut Mahendra Taher Deputy Direktur KKI Warsi.  

Terjadinya banjir akibat meluapnya sungai Batang Hari menunjukkan telah rusaknya daerah tangkapan dan resapan DAS Batang Hari. Persoalan diperparah dengan penyempitan penampang sungai akibat sedimentasi yang memicu daya tampung sungai yang semakin rendah, terutama di tengah dan hilir DAS. Rusaknya daerah hulu DAS karena penebangan hutan secara liar (illegal logging), mapun penebangan yang dilakukan  secara berlebihan yang dilakukan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan perubahan pemanfaatan lahan dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan budidaya (seperti perkebunan, pertambangan, permukiman, pertanian dan lain-lain). Penurunan daya dukung DAS Batang Hari ini tidak hanya dirasakan ketika musim hujan tiba, tapi juga telah dirasakan ketika musim kemarau air sungai surut secara dratis dan terjadinya kekeringan di sumur-sumur warga.  

“Pokok permasalahan yang dihadapi DAS Batanghari adalah telah terjadinya kerusakan ekosistem DAS Batanghari yang ditandai oleh terjadinya banjir, longsor, lahan kritis dan sedimentasi, serta kualitas air sungai yang makin menurun,”kata Mahendra.  

Penyebabnya adalah faktor manusia dan faktor alam. Faktor manusia berkaitan dengan kebijakan, peraturan dan hukum, serta sistem sosial budaya. Faktor alam berkaitan dengan kondisi alam yang ada seperti jenis tanah, geomorfologi, iklim, kondisi geologi, dan karakteristik sungai.  

Disebutkannya, dari analisa peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi tutupan hutan di DAS Batang Hari hanya tinggal 1,2 juta hektar saja, atau hanya 22,24  persen dari 4,9 juta hektar luas DAS Batang Hari. Padahal dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa tutupan minimal hutan disuatu DAS minimal 30 persen, hal ini penting untuk menjaga keseimbangan fungsi lingkungan. “Akibat tutupan hutan yang sudah jauh berkurang dengan yang ditetapkan di UU, kita sudah merasakan dampak-dampak yang ditimbulkan,”kata Mahendra.  

Disebutkan Mahendra penanganan yang dilakukan selama ini cenderung bersifat teknik dan sektoral, seperti pembangunan turap, normalisasi sungai dan sebagainya. Sehingga dampak kerusakan DAS dirasakan berulang sejak beberapa tahun terakhir. “Harusnya penanganan harus dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir, serta juga menghindari penanganan yang bersifat sektoral dan teknis saja,”katanya.   

Selain itu, juga penting adanya kebijakan dan kelembagaan yang mendukung pengelolaan sumberdaya alam DAS Batang Hari dapat dilakukan secara terintegrasi dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat. Salah satu yang sangat mungkin dilakukan adalah melalui perbaikan pola pemanfaatan lahan (tata ruang) di DAS Batanghari. Keberadaan tutupan hutan secara seimbang dalam wilayah DAS sebagaimana yang diamanatkan UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan dalam wilayah DAS paling tidak menyisakan tutupan hutan minimal 30 persen untuk menjaga keseimbangan alam dan mencegah bahaya-bahaya lingkungan.  

Selain itu kebijakan pemerintah juga diharapkan mengarah kepada pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Seperti saat ini KKI warsi bekerjasama dengan DPRD dan Dinas Kehutanan Sarolangun tengah mendorong lahirnya Peraturan Daerah Pengelolaan Sumberdaya Alam bersama masyarakat yang berbasiskan daerah aliran sungai. “Dengan adanya perda ini, kita harapkan pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya diarahkan untuk peningkatan ekonomi saat ini, akan tetapi juga untuk keberlangsungan dan ketersediaan sumberdaya alam untuk anak cucu kit,”sebut Taher sembari mengharapkan 12 kabupaten/kota yang masuk ke DAS Batang juga membuat kebijakan yang berpihak pada pengelolaan sumberdaya alam lestari 

Langkah ini penting untuk penanganan DAS Batang Hari yang kritis, DAS Batang hari mempunyai luas daerah tangkapan air (catchment area) ± 4,9 juta hektar, merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia.  Secara administrasi pemerintahan, sebagian besar DAS Batanghari berada di wilayah Provinsi Jambi (bagian hulu, tengah dan hilir DAS), sisanya berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau (hulu DAS). Akibatnya kerusakan DAS Batang Hari tidak hanya terjadi di daerah hulu, wilayah tengah dan hilir DAS Batanghari juga telah mengalami kerusakan. Kerusakan di wilayah tengah dan hilir disebabkan kegiatan industri (industri pulp, penggergajian kayu, industri minyak), perkembangan permukiman dan kegiatan perkotaan yang berada di sepanjang alur Sungai Batanghari. Kerusakan DAS Batanghari, selain menyebabkan banjir dan kekeringan, telah mengganggu pula kegiatan sosial ekonomi masyarakat sehari - hari dalam memanfaatkan air sungai dan mengganggu prasarana transportasi sungai. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan upaya - upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem DAS Batanghari, dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, ekologi dan sosial. Akumulasi dari kegiatan yang kurang memperhatikan aspek ekologis di daerah aliran Sungai Batanghari, menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas air Sungai Batanghari. Meningkatnya sedimentasi akan menyulitkan upaya pembangunan pelabuhan samudera di Muara Sabak. Pelabuhan ini direncanakan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan akses ke kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura - Batam – Johor.  

Dalam skala yang lebih kecil, kerusakan DAS Batanghari juga akan mengancam keberadaan Batanghari Irrigation Project (BHIP) untuk mengairi areal sawah seluas 18.936 hektar pada 35 (tiga puluh lima) desa di Provinsi Sumatera Barat dan 5 (lima) desa di Provinsi Jambi. Ancaman serupa juga terjadi terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pada Sub DAS Merangin dengan kapasitas 180 Mega Watt (MW) untuk memasok kebutuhan listrik regional dan Provinsi Jambi.  
Melihat pentingnya peranan DAS Batanghari dan permasalahannya, sudah saatnya dilakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi atau mengurangi frekuensi terjadinya bencana alam banjir dan tanah longsor. Solusi untuk mengurangi banjir dan dampaknya adalah penyelamatan DAS Batanghari mulai dari hulu sampai ke hilir. Pengelolaan yang tepat adalah melalui pendekatan bioregion, cakupannya tidak ditentukan oleh batas administrasi/politis, tetapi oleh batas geografis komunitas manusia dan sistem ekologisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar